Sabtu, 14 Maret 2015

#SAVE TBRS

TBRS (Taman Budaya Raden Saleh) Terletak di pusat kota tepatnya di Jalan Sriwijaya no 29, Semarang.

dahulu taman budaya ini adalah kebun binatang.

Memasuki taman budaya tersebut, kita akan disambut oleh patung Raden Saleh yang sedang menggenggam erat kerisnya.
Di seberangnya terdapat gedung kesenian Ki Narto Sabdo,  adalah tempat yang biasanya digunakan sebagai tempat pementasan.
pementasan biasa digelar setiap malam Minggu. Pementasan tersebut berupa wayang orang, pembacaan puisi, atau pementasan seni teater yang biasa dibawakan oleh Teater Lingkar (AhmadIbo/IndonesiaKaya)

Dan kamu tahu sodara sodara gosip panas apakah yang sedang berhembus tentang TBRS?
Ya. Muncul pemberitaan bahwa TBRS akan terkena proyek pembangunan Trans Studio. Setelah makassar, bandung, lalu kini giliran Semarang yang akan diramaikan oleh kehadiran Trans Studio. Pemberitaan ini mau tidak mau menimbulkan keresahan tersendiri. Muncul gerakan #saveTBRS.

Ya. Sebagian dari mereka berkeberatan apabila salah satu tempat nguri nguri budaya Jawi terkena proyek komersil. Yang bisa jadi akan secara langsung atau tak langsung dapat mematikan budaya Jawa tersebut. Entah akan direlokasi atau bagaimana. Sampai sejauh ini belum ada pemberitahuan. Akan tetapi MoU kerjasama telah ditandatangani. Dan proyek tersebut akan berjalan.

Malam ini. 14 Maret 2015. 21:00.
Malam minggu.
Kusempatkan waktu untuk mengunjungi TBRS. Kebetulan ada pementasan wayang orang.

Kumasuki ruang rias mereka.

Semua sibuk dengan make up masing masing dan dengan kostum mereka. Tak ada penata rias. Semua mengerjakan semua dengan mandiri. Mulai dari berbedak sampai dengan berbusana. 

Malam ini pementasannya ramai.

Aku juga pernah kesana sebelum ini. Tapi tidak seramai ini. Kata temanku, kadang sepi sekali. Akan tetapi, dedikasi mereka tinggi. Kurasa bukan karena materi belaka mereka melakukan semua ini.

Tak mungkin karena materi. Passion mereka terlihat sekali.

Sesekali kulirik bapak bapak berwajah ntah apa namanya itu. Ntah pemeran apa itu. Aku ga paham. Wajahnya dicat putih. Dilukis wajahnya dengan muka yang sedih. Pandangan matanya menerawang jauh. Menghadap kaca rias. Ntah apa yang ada dipikirannya. Sesekali disedotnya rokok dn menghembuskan asapnya ke udara. Menikmati sekali. Tak dihiraukannya beberapa potografer yang mengerubuti. Ya. Dia masih khidmat dengan pikirannya sendiri.

Kulihat kesan trenyuh. Ntah karena polesan make up yang terlukis diatas wajahnya. Ntah apa hanya aku yang merasa.

Sesekali beliau menghela nafas panjang. Ntah apa yang ada dipikirannya. Ntah. Sekali lagi entah..

Hampir 1 jam aku duduk di dekat ruang rias. Malam itu banyak photografer yang datang. Mereka ingin mengabadikan. Ya. Siapa tau itu adalah episode episode terakhir dunia wayang wong disana.

Di sekeliling bangunan itu, kulihat masih banyak tulisan #save TBRS di beberapa tempat. Mungkin itu adalah ciptaan orang orang yang khawatir. Yang gelisah dan peka dengan keadaan. Tulisan orang yang masih menginginkan dipertahankannya bangunan tersebut dari rencana proyek penggusuran untuk Trans studio.

Ya. Malam ini terasa syahdu.
Ada semacam rasa eman. Eman jika memang harus menggeser tempat beserta kebudayaannya.

Aku tetap tertegun di tempat. Ya. Mereka orang orang yang penuh dedikasi. Jika bukan mereka yang mempertahankan budayanya, siapa lagi?? Tiket 20 ribu per orang kurasa bukan motivasi mereka untuk melakukan ini semua. Toh kadang juga sepi sekali. Kalau bukan karena dedikasi, mungkin mereka sudah berhenti dari dulu sekali.

Malam ini aku belajar. Aku eman. Eman jika mereka tergerus jaman. Eman jika mereka hilang. Dan  digantikan oleh teriakan orang di wahana permainan. Jikalau memang demikian, semoga pemerintah tetap menyediakan lahan. Sehingga mereka tetap bisa bertahan. Mempertahankan budayanya yang elegan. Semoga...

#Save TBRS.

Photo by : Ajoenk & sigit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar