Kali ini aku ingin menulis
sedikit tentang ayahku. Berharap aku tidak akan menangis ketika menulis ini..
Ayahku..
Adalah terlahir dari keluarga
yang agamis di kampung halamannya. Kakekku, ayah dari bapakku adalah seorang
Kyai, yang juga merupakan pensiunan guru agama. Sebagian besar saudara ayahku
adalah guru agama. Begitu pula dengan ayahku. Sebuah pekerjaan yang amat sangat
mulia di mataku. Walaupun aku tidak mengikuti jalannya, tapi semoga apa yang
telah beliau ajarkan selama “kebersamaan kami” yang kurasa sangat singkat,
bisa ku lakukan. Intinya, ayahku , teladanku.
Ayahku..
Mungkin yang pertama ingin
kuucapkan adalah rasa terima kasihku yang teramat dalam kepadanya. Terima kasih
telah menjadi seorang ayah yang super super sabar kepada anak-anaknya. Beliau tidak pernah marah kepadaku kecuali kalau memang aku amat sangat
keterlaluan. Tapi yang kuingat, selama 21 tahun aku bersamanya, hanya 2 kali
aku ditegur (dan itu bukan kategori marah, menurutku). Yaitu ketika aku pergi
bersama teman-teman kost ke Jogja dan karena sesuatu hal di jalan, terpaksa
sampai rumah jam 2 malam (yang ku tangkap sebenarnya hanyalah kekhawatiran
beliau). Tapi saya memang salah. Oia, satu lagi kelakuan (konyolku) yang bikin
bapak negur aku, nyemplung di bak mandi waktu masi SD (Lagaknya si mau renang,
tapi…salah tempat kayana. Huhuhuhu..)
Seperti yang udah ku ceritakan
dulu-dulu, sejak umur 12 tahun aku uda ga dirumah. Sejak kelas 1 SMP aku
“diungsikan” ke Blora. Hanya untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik saat
itu. Otomatis sejak saat itu sampai sekarang aku memang jarang di rumah. Itulah
yang membuatku merasa sangat menyesal, karena sebagai anak belum bisa
membahagiakan orang tua, terlalu sedikit waktu untuk mereka. Untungnya,
seminggu sebelum bapak meninggal, Allah mengijinkanku untuk berada dirumah
menemani beliau (yang sebenarnya pada saat itu mungkin sesungguhnya sedang
sakit). Itu sedikit bisa mengobati hatiku. Terima kasih ayah, ketika menjelang
saat itu, ketika kau sedang sakit dan tidak ingin makan apa-apa, engkau malah
malah menginginkan mie instan telor plus “ijo-ijo” masakanku (bisanya itu.bodohnya
aku. huhuhu)
Ayahku..
Adalah orang yang sangat ramah, senyum
tidak pernah lepas dari bibirnya. Hanya naik motor 1 atau 2 kilo saja ayahku
bisa jadi pencet klakson berkali-kali, mengucap “ monggo”, atau sekedar
menganggukkan kepala setiap kami berpapasan dengan orang yang kami kenal.
Itulah “budaya” yang diajarkan ayah kepadaku. Untuk tetap bersikap hangat kepada
seseorang, meskipun mungkin orang itu tidak berbuat baik kepada kita.
Ayahku.. Kata orang-orang engkau
itu orang yang sabar sekali, “grapyak”, ga pernah marah, “nggenah” dengan
orang.. itu kata mereka..
Dan Kini, Tahukah kamu, ayah??? (kali ini aku berbicara kepadamu..)
Mereka mengatakan padaku, mereka
menyayangkan kenapa engkau berpulang terlalu cepat..Di usia yang masi 53 tahun.
Kenapa begitu mendadak..
Aku menjawab mereka “ Mungkin
sudah jalan nya seperti itu. Itu yang terbaik. Kematian tidak bisa diundur
barang sedetik pun. Doakan saja ayah bahagia disana dan ibu serta kami yang
masih kecil-kecil dapat tabah dan mampu bertahan”.
Ayah, andai engkau tahu..
Mereka menceritakan kembali
tentang kisah mereka bersamamu ayah..Mereka menceritakan segala kenangan baik,
apa yang telah engkau berikan selama bergaul dengan mereka. Mereka menangis ,
ayah.. Pernah ada seorang nenek-nenek yang kudatangi saat aku memberikan zakat,
yang kemudian tahu bahwa aku adalah putrimu. Dia menangis terisak-isak begitu
tahu akan hal itu, kemudian nenek itu memelukku dan menciumku berkali-kali
sambil menangis. Tidak dilepaskan tubuh ini. Beliau memelukku sambil bercerita
tentangmu dan menyayangkan kepergianmu. Dan itu berlangsung sekitar setengah
jam.Akhirnya aku dan nenek itu malah menangis berdua. Mungkin beliau kasihan dengan aku, ayah..
Ayah, aku banyak menerima
kebaikan orang di sekitarku. Hanya karena mereka tau aku adalah putrimu. Ketika
naik bis kemain, ketika aku hendak pulang rumah dari Semarang, ada ibu-ibu
memberikan salak kepadaku, 1 kilo pula. Ada juga yang membayar ongkos bisku.
Itu rasanya luar biasa sekali ayah. Aku tidak memandang dari pemberiannya. Luar
biasa, karena orang begitu “care” kepadaku hanya karena “sesuatu (kesan)" yang
telah kau tinggalkan kepada mereka. itu Semakin meyakinkanku bahwa engkau
adalah orang yang istimewa. Terkenal akan kebaikan dan keramahannya. Dan aku
merasa wajib ain untuk meneladanimu,
ayah…
Ayah, Terima kasih, engkau telah
menjadi sosok ayah yang baik. Sosok suami yang baik untuk ibu.
Engkau adalah ayah yang terbaik
di seluruh dunia. Walaupun mungkin aku belum bisa dan mungkin tidak akan bisa membalas apa yang telah engkau berikan
kepadaku. Sosok Ayah yang hangat, yang tiap malam menceritakan dongeng nabi-nabi
kepadaku. Ayah yang hebat, yang pernah memboncengkanku naik vespa ketika aku
harus mengikuti lomba-lomba di Blora sampai malam sekali.
Itu Kenangan yang amat sangat
indah, Ayah.
Sayangnya engkau terlalu cepat
meninggalkan kami. Sebelum anakmu ini bisa menjadi sesuatu. Sebelum aku
memperkenalkanmu pada pendamping hidupku dan menjadi wali nikah untukku..
Tapi sudahlah..
Ynag penting sekarang engkau telah
bahagia disana..
Semoga Allah menempatkanmu di
Surga-Nya..
Amin.